1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Data yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan trend pe...
72 downloads
536 Views
307KB Size
Report
This content was uploaded by our users and we assume good faith they have the permission to share this book. If you own the copyright to this book and it is wrongfully on our website, we offer a simple DMCA procedure to remove your content from our site. Start by pressing the button below!
Report copyright / DMCA form
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Data yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan trend perilaku dan praktek-praktek korupsi semakin tahun semakin meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya sebagaimana data dibawah ini yaitu mengenai tabulasi data perkara korupsi berkekuatan hukum tetap 1 Inkraht
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Jumlah
PN PT MA Jumlah
3 0 2 5
5 3 9 17
9 0 14 23
9 0 14 23
20 2 17 39
20 3 11 34
21 0 13 34
8 3 17 28
10 10 20 40
0 0 0 0
105 21 117 243
Dapatlah dikatakan perilaku koruptif di Indonesia sudah menjadi preseden buruk terhadap kemajuan bangsa Indoensia, betapa tidak akibat dari korupsi akan merusak tatanan pemerintahan yang berdampak pada seluruh sektor pembangunan dan pergaulan Internasioanal. 2
Menurut Barda Nawawi Arief 3
mengatakan
permasalahan korupsi sangat sulit untuk diberantas disebabkan karena korupsi berkaitan
erat
dengan
mental/moral,masalah
kompleksitas
pola/
sikap
masalah hidup
lain
dan
seperti
budaya
masalah sosial,
sikap
masalah
kebutuhan/tuntutan ekonomi dan struktur/sistem ekonomi, masalah lingkungan hidup, sosial dan kesenjangan sosial ekonomi, masalah struktur/budaya politik, 1
www.KPK.go.id. Data yan g dirilis per 28 februari 2014 oleh KPK. Diakses pada tanggal 15 april 2014 pkl 15.00 2 Pengaruh tindak pidana korupsi tidak tanggung-tanggung yaitu merambah disetiap sektor baik dibidang ekonomi, politik,pendidikan, infra-struktur, sosial maupun hubungan luar negeri akan terganggu semisal investor asing takut berinvestasi di Indonesia atau akan dikucilkan dalam pergaulan internasional 3 Barda nawawi dalam Nurjana.I.G.M sistem hukum pidana dan bahaya laten korupsi. Prespektif tegaknya keadilan melawan mafia hukum (jogjakarta: pustaka pelajar,2010)hal 29
2
masalah peluang yang ada didalam mekanisme pembangunan atau kelemahan birokrasi termasuk sistem pengawasan dibidang keuangan dan pelayanan umum. Pengaruhnya tidak tanggung-tanggung yaitu merambah disetiap sektor baik dibidang ekonomi, politik,pendidikan, infra-struktur, sosial maupun hubungan luar negeri akan terganggu Sepadan dengan diatas maka oleh I.G.M Nurdjana4 menentukan etiologi sosial faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi yakni: a. b. c. d. e. f. g.
Masih melekatnya budaya feodal Kesenjangan dalam sistem penggajian dan kesejahteraan Lemahnya manajemen kepemimpinan institusi pemerintahan Terjadinya erosi moral pada setiap lapisan sosial masyarakat Gaya hidup sangat konsumtif Adanya kemiskinan dan pengangguran Produk politik hukum yang menghasilkan instrumen peraturan perundangundnagan yang potensial korupsi h. Penerapan hukum terhadap pelaku korupsi dissamping lamban juga tidak menimbulkan efek jera dan dianggap kasus biasa i. Vonis putusan yang masih dianggap kurang menimbulkan rasa keadilan Sebagaimana yang diutarakan diatas oleh penulis hanya melihat tiga (3)
persoalan pokok sebagai faktor penyebab terjadinya korupsi yang sangat akut saat ini
yaitu
pertama,
degradasi
moral
sehingga
ada
kecendrungan
untuk
menyalagunakan wewenang dengan memanfaatkan kesempatan. Kedua,
sistem
pengawasan yang kurang baik atau tidak berjalan dan ketiga putusan-putusan perkara korupsi yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat maka tentu menyuburkan/menghasilkan perilaku koruptif yang semakin merajalela.
4
Ibid hal 30
3
Tidak heran jika oleh para pakar hukum pidana mengkategorikan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Jika sudah dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) maka untuk mengungkap atau membongkarnyapun perlu mencari strategi yang tepat dan revolusioner sebagai kebaruhan strategi dengan cara yang luar biasa pula dan harus lepas dari status quo untuk mengungkapkan tindak pidana korupsi adalah dengan memperkuat kedudukan whistleblower 5 dan justice collaborator. 6
Peranan justice
collaborator cukup diperhitungkan dalam mengungkap tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara yang sangat signifikan sebagaimana dikatakan berikut Dalam seluruh tahapan proses penyelesaian perkara pidana, mulai tahap penyelidikan sampai pembuktian dimuka sidang pengadilan, kedudukan saksi sangatlah penting. Bahkan dalam praktek sering mnejadi faktor penentu dan keberhasilan dalam
pengungkapan suatu kasus karena bisa memberikan alat
bukti 7 .Namun mereka enggan untuk menjadi saksi dengan berbagai alasan, salah satunya menyangkut perlindungan hukum, keselamatan jiwa, termasuk didalamnya adalah harta benda dan keluarganya karena selama ini yang terjadi keberanian mereka tidak diimbangi perlindungan dan penghargaan terhadap prestasinya sebagaimana kasus Susno Duadji pada akhirnya dipenjara ada .Padahal kita ketahui untuk memberantas korupsi di Indonesia bukan hanya pekerjaan aparat penegak hukum tetapi masyarakat juga harus berperan serta didalamnya 8 Semangat untuk memberikan perlindungan terhadap justice collaborator masih setengah hati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia jika kita lihat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan surat edaran Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana
(Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam 5
Dalam hukum positif Indonesia tidak diatur secara jelas dalam peraturan perundangundangan Indonesia namun secara harfiah whistleblower dapat diartikan sebagai pemukul kentongan, peniup peluit atau saksi pengungkap fakta tetapi dalam UU No 13 tahun 2006 ttg perlindungan saksi dan korban diatur mengenai hak dan kewajiban saksi yang tercantum dalam pasal 5 6 Jika whistleblower tidak diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan Indonesia maka justice collaborator pun demikian, secara harfiah justice collaborator : saksi pelaku yang bekerjasama artinya dia bekedudukan sebagai tersangka atau terdakwa 7 Muhammad Ikhsan, hukum perlindungan saksi dalam sistem peradilan pidana Indoensia. (Surakarta: Muhammdiyah Universty Press.2012) hal. 111 8 Lihat ketentuan pasal 41 UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidanakorupsi
4
Perkara Tindak Pidana Tertentu. 9 Perlindungan yang diberikan hanya sebatas pada proses peradilan saja namun berkaitan dengan hak imunitasnya tidak ada, ini terbukti dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban pasal 10 ayat (2) menyatakan Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Jika dianalisa ayat tersebut sifatnya hanya sebatas pertimbangan saja bukan merupakan kewajiban bagi hakim untuk membebaskan secara bersyarat. jika semangat dalam dua peraturan tersebut masih kurang terhadap justice collaborator apalagi terhadap harta benda dan keluarganya sekalipun dalam dalam surat edaran Mahkamah Agung No. 04 tahun 2011 10 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) daan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) didalam perkara tindak pidana
tertentu
pada
pasal
3
ayat
(2)
setipa
negara
peserta
wajib
mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini . Atas dasar itu menarik sekali bagi kami untuk melakukan penelitian berkaitan dengan Konsep Kebijakan Formulasi Perlindungan Terhadap Kepentingan Hukum Justice Collaborator Guna Mengungkap Kejahatan Korupsi .
9
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak mengatur secara khusus mengenai perlindungan bagi justice collaborator didalam UU yang dimaksud tidak memberikan pengertian apa itu justice collaborator . Sementara Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Peraturan Bersama) dan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (SEMA) tidak menghapuskan tuntutan terhadap justice collaborator. Akibatnya,para justice collaborator seperti Susno Duadji tidak mendapat perlindungan oleh hukum sehingga turut dijadikan tersangka dalam kasus yang dilaporkannya. 10 Dalam ilmu hukum kita mengenal asaz hukum, aturan hukum yang paling bawah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang paling tinggi, dan pejabat mana yang berwenang untu membuat aturan jika mengacu pada undang‐undang no 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang‐undangan maka hirarkis peraturan perundang‐undangan sbb: UUD NRI tahun1945, Tap MPR, UU/PERPPU, PP, Perpres, PERDA
5
B. Rumusan Masalah Bagaimanakah Konsep Kebijakan Formulasi Perlindungan Terhadap Kepentingan Hukum Justice Collaborator guna mengungkap Kejahatan Korupsi ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui,mengkaji dan menganalisis Konsep Kebijakan Formulasi Perlindungan Terhadap Kepentingan Hukum Justice Collaborator
guna mengungkap Kejahatan Korupsi menuju
pembaharuan pemberantasan tindak pidana korupsi yang ideal dalam pembangunan hukum nasional D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian adalah: a.
Manfaat teoritis: untuk mengembangkan pemahaman teoritis mengenai Konsep Kebijakan Formulasi Perlindungan Terhadap Kepentingan Hukum Justice Collaborator
guna mengungkap Kejahatan Korupsi menuju
pembaharuan pemberantasan tindak pidana korupsi yang ideal dalam pembangunan hukum nasional b.
Manfaat praktis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan atau masukan informasi bagi para legislator berkaitan dengan cara baru yang luar biasa berkaitan dengan strategi pemberantasan korupsi
E. Ruang Lingkup Penelitian ini hanya terfokus pada perumusan permasalahan diatas yaitu Konsep Kebijakan Formulasi Perlindungan Terhadap Kepentingan Hukum Justice Collaborator guna mengungkap Kejahatan Korupsi
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebijakan hukum pidana Secara konseptual kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana menurut para ahli yakni: 1. Menurut Prof. Sudarto yaitu : a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetepakan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan 11 2. Menurut Mulder: a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana c. Cara bagaimana penyidikan , penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilakukan 3. Menurut Barda Nawawi: bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan aturan hukum pidana yang baik
11Barda.
Nawawi Arief. Kebijakan hukum pidana. (Jakarta:Kencana,2010) hal.26
7
B. Perlindungan Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban mendefinisikan perlindungan yaitu, segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksankan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Selanjutnya Menurut Sjachran Basach berpendapat bahwa “ perlindungan hukum merupakan conditio sine qua non dalam penegakan hukum guna untuk merealisasikan fungsi hukum itu sendiri karena merupakan elemen atau unsur yang memegang peranan penting dari penegakan hukum.” 12 Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perlindungan adalah suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh Negara melalui alat perlengkapan Negara atau aparat penegak hukum guna untuk memberikan rasa aman baik terhadap dirinya maupun keluarga dan harta bendanya dalam kedudukan sebagai saksi,korban maupun pelapor. Dalam mempelajari ilmu hukum kita selalu melewati tiga mahzab diantara: mazhab naturalism, mazhab positivism dan mazhab realism. “Dalam mazhab naturalism atau mazhab hukum alam konsepsi mengenai hak asasi manusia meliputi: the raight to life, the raight to liberty, the raight to property. Dalam perkembangannya ditambahkan oleh Franklin D. Roosevelt mengenai hak-hak dasar manusia yaitu freedom of speach, freedom o frelegion, freedom of fear
dan
freedom from want”. 13 12
Sjachran Basach, Perlindungan Hukum Atas Sikap Tindak Administrasi Negara.cet.1(bandung: alumni.1992)hal.12 13 Miriam Budiardjo dalam Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum.(Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.2007 )hlm.172
8
C. Justice Collaborator Pengertian Justice Collaborator Dalam sistem hukum Indonesia, pengertian justice collaborator 14 diatur dalam Peraturan Bersama 15 tentang Perlindungan terhadap Saksi Pelapor, Saksi dan Saksi Pelaku Bekerjasama, justice collaborator disebut sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama, yaitu: Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan. Pengertian justice collaborator tidak ditemukan dalam satupun Undang-Undang termasuk dalam Undang-Undangn no 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban juga dalam surat edaran Mahkamah Agung No. 04 tahun 2011tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) daan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) didalam perkara tindak pidana tertentu Ternyata dalam sistem peradilan pidana mendudukan justice collaborator sebagai bagian dari upaya perlindungannya masih kurang serius (masih samar 14 Sejarah Perkembangan Justice Collaborator Perlindungan terhadap justice collaborator diterapkan pertama kali pada tahun 1963 di Amerika Serikat. Dimana saat itu, seorang mafia ItaliaAmerika bernama Joseph Valachi memberikan kesaksian di hadapan Komisi Kongres Amerika Serikat. Atas kesaksiannya tersebut, Joseph Valachi menjadi mafia yang pertama kali melanggar sumpah para mafia yang disebut omerta. Pada dasarnya, omerta merupakan sumpah diam yang diyakini para mafia baik karena rasa takut ataupun kesetiaan terhadap kelompok mafianya. Joseph Valachi dalam kesaksiannya, menjelaskan secara rinci mengenai struktur internal mafia dan kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh kelompok mafianya yang dipimpin oleh Vito Genovese. Atas kesaksiannya tersebut, Pemerintah Amerika melalui Federal Bureau of Investigation (FBI) memutuskan untuk memberikan perlindungan ketat pada Joseph Valachi. Sejak saat itulah keyakinan bahwa perlindungan terhadap justice collaborator atau saksi yang juga menjadi bagian dari sebuah struktur kejahatan dinilai sangat penting. 15 Oleh LPSK, Polisi dan KPK sedangkan MA tidak dilibatkan padahal seharusnya untuk memberikan perlindungan terhadap justice collaborator harus bersifat integratif
9
samar) diperhatiakan oleh pemerintah berkaitan dengan kesediaanya untuk menjadi saksi dalam membongkar kejahatan korupsi secara masif, padahal justice collaborator tidak hanya melihat, mendengar atau mengalami sendiri terhadap kasus yang menimpanya juga ia memiliki informasi yang sangat akurat siapa dalang dibalik kaus tersebut serta apa motifnya. Kita tidak temukan dalam satu undang-undang tetapi hanya dalam peraturan bersama dan surat edaran Mahkama Agung saja D. Pengertian Korupsi dan pengaruhnya Korupsi dalam bahasa latin disebut coruptio-corruptus, dalam bahasa Belanda disebut coruuptie...secara harfiah menunjukkan pada perbuatan yang merusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan dengan keuangan.16 Secara yuridis (undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo. undangundang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ) pengertian korupsi tidak hanya terbatas pada perbuatan yang memenuhi rumusan delik karena melawan hukum atau menyalagunakan kewenangan dapat merugikan keuangan negara, penggelapan keuangan negara, dan pemalsuan dokumen dan sebagainya untuk mengalihkan uang negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang terkait dengan perilaku yang menyimpang dari penyelenggara negara yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan seperti penyuapan, baik yang bersifat aktif maupun yang bersifat pasif atau yang menerima suap serta gratifikasi, pemerasan dalam jabatan bahkan turut serta dalam pemborongan, leveransir dan rekanan, sedangkan pejabata yang bersangkutan terkait dengan pekerjaan tersebut, baik sebagai pengelola anggran, pengguna anggran, kuasa pengguna anggran atau pejabata pembuat komitmen. 17 Pada intinya korupsi itu sendiri adalah berkaitan dengan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pejabat, orang perseorangan, PNS dan korporasi yang mana perbuatannya dapat merugikan keuangan negara. Hampir belakangan ini tidak satupun media yang tidak memberitakan tentang korupsi yang melanda bangsa 16 17
Sudarto dalam marwan efendi, sistem pepradilan pidana.(Jakarta:Referensi,2011 hal 80 ibid
10
Indoensia. Sehingga tidak heran jika Negara kita adalah negara yang paling korup di kawasan Asia,”sebagaimana hasil temuan dari political economic and risk consultancy, Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia Tenggara yang dirilis pada tahun 2005” 18 .Selanjutnya menurut “Corruption Perceptions Index(CPI) yang dikeluarkan Transparency International (TI) tahun 2010, Indonesia berada dalam urutan ke 110 dari 178 negara yang disurvei. 19
18
Komisi pemberantasan korupsi,Memahami Untuk Membasmi,cet.2,(jakarta:komisi pemberantasan korupsi,2006),hal.1 19 Abdul Haris Semendawai, SH., LLM.dan Ferry Santoso, Wahyu Wagiman.dkk.Memahami Whistleblower.(Jakarta:lembaga perlindungan saksi dan korban,2011)hal.1
11
BAB III PEMBAHASAN A. Kebijakan Formulasi Perlindungan terhadap kepentingan hukum justice
collaborator dalam hukum positif yang ada saat ini Sampai saat ini belum ada satupun undang-undang yang khusus tentang perlindungan
justice
collaborator
dalam
tindak
pidana
tertentu 20
padahal
keberadaanya sangat penting mengingat kejahatan yang sifatnya extra ordinary crime maupun kejahatan yang bersifat terorganisir sangat sulit untuk dibongkar untuk memberantasnya. Padahal jika ada undang-undang tersebut tentu akan membawa warna tersendiri guna memberantas kejahatan yang dimaksud dengan catatan harus benar-benar memberikan jaminan 21 terhadap kepentingan hukum yang melekat pada diri justice collaborator. Walaupun Indonesia telah memiliki Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) yang diundangkan pada 11 Agustus 2006. Namun secara formal, undang-undang ini masih dinilai tidak maksimal dalam mengatur perlindungan terhadap saksi dan korban karena masih terdapat bolong disana sini. Hal tersebut tidaklah mengherankan melihat perjalanan lahirnya undang-undang ini proses pembahasannya yang sempat mandeg di DPR sekitar lima tahun dan terkesan hanya untuk memenuhi tuntutan masyarakat. 22 Termasuk peraturan bersama LPSK, Polisi, dan Kejaksaan juga surat Edaran Mahkamah Agung No 4 tahun 2011 baik secara subtansi maupun lembaga yang mengeluarkan peraturan maupun sedaran itu kekuatannya tidak cukum untu
20
Seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana perdagangan orang, terorisme tindak pidana narkotika, tindaka pidana pencucian uang maupun tindkak pidana lain yang bersifat terorganisir 21 Jaminan yang dimaksud adalah adanya perlindungan hukum, bebas dari ancaman, teror dari pihak yang dirugikan termasuk untuk keluarga dan harta bendanya dan adanya jaminan perlindungan identitas juga tidak akan dituntut dimuka persidangan 22 Supriyadi Widodo Eddyono. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia (Sebuah Pemetaan Awal) Cetakan Pertama 31 Maret (Jakarta: Indonesia Corruption Watch 2007) lihat pada kata pegantar
12
dijadikan dasar hukum jika mengacu pada undang-undang no 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan Padahal kita ketahui Dalam seluruh tahapan proses penyelesaian perkara pidana, mulai tahap penyelidikan sampai pembuktian dimuka sidang pengadilan, kedudukan saksi sangatlah penting 23 . Bahkan dalam praktek sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam
pengungkapan suatu kasus karena bisa
memberikan alat bukti 24 padahal jika memperkuat kedudukan justice collaborator sedikitnya akan memberikan kemudahan dalam penegakan hukum atas kejahatan yang yang sifatnya extra ordinary crime maupun kejahatan yang bersifat terorganisir seperti korupsi, pentingnya memperkuat kedudukan kedudukan justice collaborator dikarenakan ia tidak hanya melihat, mendengar, mengalami sendiri tetapi juga ia mengetahui motif dan modus operandi karena ia bagian dari pelaku yang turut serta melakukannya. Orang yang telah berpartisipasi dalam suatu tindak pidana yang berhubungan dengan suatu organisasi kejahatan memiliki pengetahuan penting tentang struktur organisasi, metode operasinya 25 Korupsi layaknya lingkaran setan yang saling menghubungkan satu pejabat dengan pejabat lain.Korupsi merupakan kejahatan yang terorganisir, sehingga perlu ada seseorang yang ada dalam sistem tersebut yang memutus rantai korupsi yaitu dengan membongkar tindakan korupsi dan yang bersangkutan harus menyandang predikat sebagai Whistleblower.Namun menjalankan peran sebagai Whistleblower bukanlah hal yang mudah sehingga harus ada sebuah mekanisme pemberian protection and achievement terhadap Whistleblower. 26 23
Dalam KUHAP pasal 184 salah satu alat bukti adalah keterangan saksi. Jika demikian maka harus diperkuat kedudukanya 24 Muhammad Ikhsan, hukum perlindungan saksi dalam sistem peradilan pidana Indoensia. (Surakarta: Muhammdiyah Universty Press.2012) hal. 111 25 Keterangan tertulis yang disampaikan oleh LPSK .lihat dalam putusan MK no 42/PUU‐VII/2010 tanggal 3 september 2010 dalam pengujian pasal 10 ayat (2) oleh Susno Duadji 26 http://asasangfikry.blogspot.com/2011/12/Sedikit-Coretan-Tentang-Restorative.Html. diakses tanggal 14 oktober 2012
13
Undang-undang telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan serta dalam upaya memutus rantai tindak pidana korupsi yaitu sebagaimana yang diatur dalam pasal 41 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagimana yang telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang menyatakan bahwa: 1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. 2) serta mansyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk. a. Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya tindakan telah terjadi tindak pidana korupsi; b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam menccari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; c. Hak untuk memperoleh jawaban aatas pertanyaan tentang laporanya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; Hak untuk memperoleh pelindungan hukum dalam hal : 1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c; 2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; 3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam dalam mencegah dan pemberantasan tindak pidana korupsi; 4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas dan ketentuan yang diatur dalam perundangundangan yang berlaku dan denhgan mentaati norma agama dan norma sosial lainya; 5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak
14
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 27 Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan “... kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia” 28 berkaitan dengan judul diatas menurut Yustirsa Yunus 29 Perlindungan hukum terhadap justice collaborator di Indonesia masih sangat lemah jika dilihat dari dua segi: pertama, 30 permasalahan riil yang menunjukkan kenyataan bahwa justice collaborator tidak mendapatkan penghargaan dan perlindungan, bahkan turut dijadikan tersangka atas kasus korupsi yang dilaporkannya 31 ; dan kedua, 32 permasalahan materil dan formil dalam berbagai peraturan. Untuk melengkapi temuan diatas maka bagi peneliti ditambah satu lagi Permasalahan berkaitan dengan lemahnya perlindungan terhadap kepentingan hukum justice collaborator dalam sistem peradilan pidana yang ditemukan saat ini 27
IKAPI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Fokusmedia, Bandung, 2009, hal.100-101. 28 Dalam pembukaan undang-undang dasar negara republik indonesia menyebutkan kemerdekaan itu hak segala bangsa, tidak membeda-bedakan bangsa-bangsa didalamnya maka lahirnya negara guna untuk melindungi segenap bangsa Indonesia baik yang taat hukum maupun yang tidak taat hukum dengan tujuan untuk menciptkan keadilan dan kesejahteraan umum 29 Yustirsa Yunus adalah seorang yang bekerja sebagai Tenaga Pendukung Substansi Perencanaan, Direktorat Hukum dan HAM, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam penelitiannya yang berjudul Rekomendasi Kebijakan Perlindungan Hukum Justice Collaborator: Solusi Akselerasi Pelaporan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 30 Lihat keberanian Agus Condro dalam kasus pemelihan gubernur BI Miranda Goltom yang berani melaprkan ke KPK bahwa ia dkk menerima sejumlah uang untuk memenangkan Miranda Goltom dan pada akhirnya tetap dipidana 31 Nyanyian Susno Duadji mengungkapkan adanya makelar kasus dalam penyidikan kasus pajak senilai Rp. 25.000.000.000,- di Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia pada akhirnya ia diputus bersalah atas kasus yang dilaporkannya sendiri yakni: (1) suap PT. Salmah Arwana Lestari, dan (2) korupsi pengamanan dana Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat, yang merupakan kasus lain 32 Lihat undang‐undang no 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, disitu tidak ada pengertian mengenai justice collaborator dan konsep yang jelas tentang konsep perlindungannya termasuk peraturan bersama dansurat edaran Mahkamah Agung
15
yaitu niat pemberantasan korupsi masih setengah hati 33 .barulah berkaitan dengan sistem hukum (substansi hukum, aparatur penegak hukum dan budaya hukum) 34 secara utuh 1.1 Niat pemberantasan korupsi masih setengah hati Aparat penegak hukum belum berani bersikap progrsif terutama hakim jika mengaca pada kasus Susno Duadji dan Agus Condro, mereka tetap dipidana sekalipun sudah membantu aparat penegak hukum. Padahal Dalam konstitusi mengatakan kekuasaan kehakiman 35 adalah kekuasaan
yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan yang bebas dari pengaruh luar atau
intervensi dari
pihak manapun baik eksekutif,legislatif,maupun oknum-oknum yang berkepentingan dalam perkara yang mereka sedang tangani. Pada hakikatnya tugas utama hakim adalah menegakan hukum dan keadilan. Pengadilan sebagai lembaga pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Namun dalam praktik selama ini ternyata meskipun hakim telah memutuskan perkara tetapi belum menyelesaikan sengketa. 36 Pernyataan tersebut tidak selamanya benar tetapi 33
Semisal kita mengambil contoh terhadap rancangan KUHP dan KUHAP sampai saat ini berjalan stagnan padahal didalam KUHP aturan secara normatif mengenai hak dan kewajiban saksi masih bersifat generalis dan luput dari perhatian para yuris namun berbeda dengan hak dan kewajiban tersangka atau terdakwa, barulah ditahun 2006 pemerintah bersama DPR mengesahkan UU No 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan orban. Padahal jika memang pemberantasan korupsi merupakan agenda pembangunan nasional tentu harus segera merefisi UU no 13 tahun 2006 tersebut dan dalam KUHP dan KUHAP DIRUMUSKAN JUGA lalu segerah disahkan 34 Untuk mengetahui efektifitas dalam penegakan hukum maka tepat jika kita meminjam pendapatnya L.M Friedman berkaitan dengan komponen‐komponen sistem hukum dalam bukunya yang berjudul the legal sistem; a social science prespective, menurutnya tigal hal tersebut merupakan faktor penentu dalam penegakan hukum tersebut termasuk yang berkaitan dengan perlindungan justice collaborator 35 Lihat UUD NRI tahun 1945 BAB IX tentang kekuasaan kehakiman (hasil amandemen ke-3) pada pasal 24 ayat (1) kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna guna menegakan hukum dan keadilan 36 A.Mukti Arto, mencari keadilan: kritik dan solusi terhadap praktik peradilan perdata di Indonesia,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2001), lihat pada kata pengantar hal v
16
bukan berarti ia salah karena ukuran keadilan sifatnya abstrak. Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman selalu disoroti dalam kinerjanya terutama berkaitan dengan keputusan yang mereka ambil dalam membuat suatu putusan perkara. Undang-undang menjamin kebebasan dan kemadirian
kepada hakim berkaitan
dengan dasar pertimbangannya dalam setiap putusannya. Kebebasan bukan berarti sebebas-bebasnya namun tetap berpatok pada peraturan hukum yang berlaku dan sesuai dengan keyakinan hakim. Pengambilan putusan oleh hakim dalam lembaga peradilan sangat menarik untuk diteliti sebab putusan hakim akan diuji oleh pengadilan yang lebih tinggi atau dinilai oleh masyarakat apakah putusannya benar atau tidak, salah atau tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat apa tidak ada tuntutan-tuntutan yang lain.Tuntutan akan kebenaran, keadilan, kemanfaatan atau mungkin kepastian hukum begitu besar diarah kepada hakim sebab hanyalah hakim yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengambil suatu putusan dengan nama Tuhan (Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa). Untuk itu, kearifan, kenijaksanaan, kepandaian, moralitas yang baik merupakan suatu keharusan yang dimiliki oleh seorang hakim. Sifat-sifat yang baik harus dimiliki oleh seorang hakim belum tentu menghasilkan putusan yang baik apabila masih belum jelas memihak kepada model keadilan yang bagaimana. Disamping itu masih ada tarik menarik antara mendahulukan kebenaran atau keadilan atau kepastian hukum atau kemanfaatan. 37 Sebagaimana yang dikemukakan diatas yang pada intinya hakim dituntut tidak hanya pandai memahami teks undang-undang semata tetapi moralitas juga menentukan nilai adil atau tidaknya putusan yang diambil dan model keadilan mana yang diambil oleh hakim tersebut. Pada hakikatnya keadilan yang hakiki adalah keadilan menurut konsep Ketuhanan sehingga dikatakan proses peradilan dilakukan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.38
37
Subiharta, kebebasan hakim dalam mengambil putusan perkara pidana di lingkungan peradilan umum,(Tesis magister hukum, 1999), hal 3-4 38 Lihat undang-undang no 48 tahun 2009 tentang pokok-pokok kekuasaaan kehakiman pasal 4
17
1.2 Permasalahan Peraturan 1.2.1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tidak memberi perlindungan maksimal bagi justice collaborator. Ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 bahkan menjadi dasar untuk memidanakan justice collaborator atas kasus yang dilaporkannya, sebagaimana diatur berikut ini: Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan
pidana
yang
akan
dijatuhkan.
Ketentuan
di
atas
mengindikasikan bahwa, kontribusi justice collaborator hanya dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidananya. Namun, ketentuan tersebut tidak memiliki daya mengikat yang mewajibkan hakim untuk memberi keringanan pidana, sehingga tidak ada jaminan bagi justice collaborator untuk mendapat keringanan pidana. 1.2.2
Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 tahun 2011 tentang perlakuan bagi para pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yag bekerjasama (justice collaborator)
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) berisi himbauan kepada Para Hakim agar dapat memberikan perlakuan khusus dengan memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya terhadap orang-orang yang dikategorikan sebagai pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku
18
yang bekerjasama (justice collaborator). dalam SEMA masih memiliki banyak kelemahan dari segi materil dan formilyakni: a. Tidak diaturnya hak dan bentuk perlindungan bagi justice collaborator; b. Ketentuan keringanan pidana bagi justice collaborator hanya dijadikan pertimbangan hakim dan tidak me miliki daya mengikat yang mewajibkan hakim untuk memberi keringanan pidana. c. dari segi formil yakni lingkup keberlakuan SEMA hanya mengikat kalangan Mahkamah Agung, yakni hakim. 1.2.3. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (selanjutnya disebut Peraturan Bersama), cukup komprehensif dalam mengatur bentuk perlindungan bagi justice collaborator. Secra subtansi Bentuk perlindungannya sudah cukup baik yakni: Saksi Pelaku yang Bekerjasama berhak mendapatkan:a. Perlindungan fisik dan psikis;b. Perlindungan hukum;c. Penanganan secara khusus; dan d. Penghargaan. Namun secara formil masih ada kekurangan karena tidak dilibatkan Mahkamah Agung
B. Konsep Kebijakan Formulasi Perlindungan Kepentingan Hukum Justice Collaborator Dalam Mengungkap Kejahatan Korupsi Oleh karena masih ada kelemahan dan kekurangan berkaitan dengan perlindungan kepentingan hukum justice collaborator dalam mengungkap kejahatan korupsi, sebagaimana yang diuraikan pada point (a) diatas maka tentu harus segera disempurnakan melalui kebijakan formulasi. Menurut Barda Nawawi Arief, 39 kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari 39 Barda Nawawi Arief III, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti,Bandung,hal. 30,
19
tiga tahap kebijakan, yaitu, tahap kebijakan legislatif/ formulatif; tahap kebijakan yudikatif/aplikatif; dan tahap kebijakan eksekutif/ administratif. Selanjutnya menurut Prof. Sudarto kebijakan hukum pidana yaitu :
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetepakan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan 40 Sebagaimana data yang ditunjukan dalam latar belakang diatas kondisi perilaku koruptif kian tak terbendung dan untuk memberantasnya dengan cara memperkuat kedudukan justice collaborator undang
melalui penyempurnaan undang-
dan peraturan lain yang sudah ada dan/atau membuat undang-undang
tersendiri berkaitan dengan perlindungan whistleblower dan justice collaborator dalam tindak pidana tertentu 1.
Harus
dirumuskan
secara
jelas
mengenai
pengertian
justice
collaborator mengingat dalam teori penyebuatan saksi itu bermacammacam seperti saksi pelapor, saksi mahkota 2.
Dirumuskan apa-apa yang menjadi hak dan kewajibannya
3.
Kriteria justice collaborator a. Pastikan bahwa ia adalah salah satu pelaku tindak pidana yang dilaporkannya b. Pastikan
bahwa
ia
sebagai
orang
pertama
melaporkan dan bersedia bekerjama dengan aparat c. Bukan sebagai aktor 40Barda.
Nawawi Arief. Kebijakan hukum pidana. (Jakarta:Kencana,2010) hal.26
yang
berani
20
d. Ia mau bekerjasama dengan catatan akan membongkar mafia korupsi yang sangat signifikan melebihi sangkaan korupsi yang menimpa dirinya 4.
Syarat justice collaborator 1. Akan dibebaskan dari tuntutan jika ia mengembalikan hasil korupsinya 2. Belum pernah melakukan kejahatan sebelumnya 3. Motifasinya harus untuk menyelematkan kerugian negara bukan karena dendam 4. Mau bekerjasama
5.
Jenis dan model perlindungan justice collaborator 1. Bersifat kolaboratif
6.
Pengaturan berkaitan dengan reward misalanya
7.
Dirumuskan hak imunitas dan konsep keadilan restoratif: karena keberanianya untu bekerjasama maka ia tidak boleh dituntut,
8.
Dirumuskan asas oprtunitas
9.
Perlindungannya mulai dari setiap tahapan proses peradilan (pra, saat dan pasca)
10.
Dirumuskan bagaimana bentuk perlindungan terhadap harta benda dan keluarganya
11.
Perlindungan berakhir berdasarkan syarat perjanjian antara justice collaborator
,LPSK, jaksa, Polisi, hakim dan atau atas permintan
sendiri atau berdasar penilaian LPSK, jaksa, Polisi, hakim
21
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai akhir dari hasil penelitian dan pembahsan diatas maka dapat disimpulkan bahwa perlindungan terhadap kepentingan hukum justice collaborator guna mengungkap kejahatan korupsi sampai saat ini masih kurang serius diperhatikan oleh pemerintah jika kita bercermin pada kasus Agus Condro, Khairunnisa, Susno Duadji yang pada akhirnya mereka dipidana padahal sudah bekerjasama untuk mengungkapkan kejahatanm korupsi termasuk aturan hukum yang ada masih belum respons terhadap fenomena justice collaborator padahal jika diperkuat kedudukannya maka dapat dipastikan lingkaran kejahatan korupsi dapat dibongkar secara masif. Oleh karena itu dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat guna mengungkap kejahatan korupsi maka harus didukung oleh aturan hukum yang ada supaya ada kepastian hukum terhadap kedudukan justice collaborator berkaitan dengan kebijakan formulasi diantaranya: 12.
Harus
dirumuskan
secara
jelas
mengenai
pengertian
collaborator 13.
Dirumuskan apa-apa yang menjadi hak dan kewajibannya
14.
Kriteria justice collaborator
15.
Syarat justice collaborator
16.
Jenis perlindungan justice collaborator
17.
Pengaturan berkaitan dengan reward
18.
Dirumuskan hak imunitas dan konsep keadilan restoratif
19.
Dirumuskan asas oprtunitas
justice
22
20.
Perlindungannya mulai dari setiap tahapan proses peradilan (pra, saat dan pasca)
21.
Dirumuskan bagaimana bentuk perlindungan terhadap harta benda dan keluarganya
22.
Perlindungan berakhir berdasarkan syarat perjanjian antara justice collaborator ,mentri hukum dan HAM, LPSK, jaksa, Polisi, hakim dan atau atas permintan sendiri atau berdasar penilaian LPSK, jaksa, Polisi, hakim
B.Saran Jika DPR dan Pemerintah benar-benar ingin memberantas korupsi secara universsal salah satu strateginya adalah segera merumuskan Undang-undang khusus terkait dengan perlindungan whistleblower dan justice collaborator dalam tindak pidana
tertentu
yang
sifatnya
extra
ordinary
crime
dalam
rangka
menumbuhkan partisipasi masyarakat dan ada jaminan kepastian hukumnya.
untuk
23
TUGAS KELOMPOK: SISTEM PERADILAN PIDANA
KEBIJAKAN FORMULASI PERLINDUNGAN TERHADAP KEPENTINGAN HUKUM JUSTICE COLLABORATOR GUNA MENGUNGKAP KEJAHATAN KORUPSI
OLEH: kelompok 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Bahri Yamin Abd. Hasan Anna Rahmania Ramadhan Arief Harsono Astan Wirya Baiq Farhana Kurnia Lestari Eka Jauhari Fahrurrozi Gusti Ngurah Suryana Yuliadi
12B 013 011 12B 013 001 12B 013 006 12B 013 007 12B 013 009 12B 013 013 12B 013 020 12B 013 021 12B 013 026
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MATARAM TAHUN AJARAN 2013/2014
24
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga penyusun dapat menyelesaikan PERLINDUNGAN COLLABORATOR
makalah
yang
TERHADAP
berjudul
KEBIJAKAN
KEPENTINGAN
HUKUM
FORMULASI JUSTICE
GUNA MENGUNGKAP KEJAHATAN KORUPSI),ini berjalan
dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah sistem peradilan pidana Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penyusun peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan judul diatas serta infomasi dari media elektronik (internet) yang berhubungan dengan penelitian sebagai dasar rujukan atau referensi yang penyusun ambil, tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar matakuliah Kapita Selekta Hukum Pidana atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini. Penyusun berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Penyusun
25
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
..........
1.2 Rumusan Masalah
..........
1.3 Tujuan
..........
1.4 Manfaat
..........
1.5 Ruang Lingkup penelitian
..........
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan hukum pidana Tinjauan tentang perlindungan hukum Justice collaborator Pengertian tindak pidana korupsi serta pengaruhnya BAB II PEMBAHASAN Kebijakan formulasi perlindungan terhadap kepentingan hukum Justice collaborator dalam hukum positif saat ini------------------------Konsep Kebijakan formulasi perlindungan terhadap kepentingan hukum Justice collaborator yang akan datang ------------------BAB III PENUTUP 1.1
Kesimpulan
..........
1.2
Saran
..........
DAFTAR PUSTAKA
26
DAFTAR PUSTAKA
www.KPK.go.id. Data yan g dirilis per 28 februari 2014 oleh KPK. Diakses pada tanggal 15 april 2014 pkl 15.00 Nurjana.I.G.M sistem hukum pidana dan bahaya laten korupsi. Prespektif tegaknya keadilan melawan mafia hukum (jogjakarta: pustaka pelajar,2010) Muhammad Ikhsan, hukum perlindungan saksi dalam sistem peradilan pidana Indoensia. (Surakarta: Muhammdiyah Universty Press.2012) barda. Nawawi Arief. Kebijakan hukum pidana. (Jakarta:Kencana,2010) hal.26 Sjachran Basach, Perlindungan Hukum Negara.cet.1(bandung: alumni.1992)
Atas
Sikap
Tindak
Administrasi
Miriam Budiardjo dalam Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum.(Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.2007 ) marwan efendi, sistem pepradilan pidana.(Jakarta:Referensi,2011 Komisi pemberantasan korupsi,Memahami Untuk Membasmi,cet.2,(jakarta:komisi pemberantasan korupsi,2006) Abdul Haris Semendawai, SH., LLM.dan Ferry Santoso, Wahyu Wagiman.dkk.Memahami Whistleblower.(Jakarta:lembaga perlindungan saksi dan korban,2011)